Jumat, 03 Juli 2015

Isra Mi'roj dan 7 Lapis Langit

Isra’ miraj adalah sebuah perjalanan spiritual lintas langit yang menakjubkan. Sebuah perjalanan dari bumi menembus tujuh lapis langit. Bagaimana persepsi anda tentang langit? Seberapa besar, seberapa jauh? Dimana letaknya? Berapa lama untuk mengarunginya? Nah, hikmah yang mesti kita ambil dari peristiwa isra miraj yang mengarungi tujuh langit adalah agar pemahaman kita lebih baik akan makna “Allah Maha Besar.” Langit adalah benda penuh misteri. Namun setidaknya, kita dapat menangkap sedikit informasi tentang langit sebagaimana yang tersebut oleh penciptanya dalam al Quran.

Setidaknya ada dua buah versi pemahaman manusia tentang langit: Langit Sughro (Langit Kecil) dan Langit Kubro (Langit Besar).

1.        Langit Sughro

Langit sughro adalah langit kecil, yaitu atmosfer yang menyelubungi bumi. Inilah pemahaman tentang langit versi pertama. Pemahaman ini berdasar pada ayat-ayat Al Quran sbb:

“Dialah yang menurunkan air hujan dari langit” (Al An’am: 99)
“Demi langit, dzat yang mengembalikan” (At Thariq: 11)
“dan langit sebagai atap…” (Al Baqarah : 22)
“yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (Al Mulk: 3)

Keempat informasi tentang langit dalam ayat-ayat di atas, sama dengan ciri-ciri atmosfer bumi kita, yaitu:

1)      Atmosfer terdiri atas 7 lapis yaitu: Troposfer, Stratosfer, Ozonosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer dan Eksosfer.
2)      Hujan turun dari awan yang membawa uap air. Ayat yang mengatakan “menurunkan air hujan dari langit”, menjelaskan bahwa posisi awan berada di langit, yaitu troposfer (lapisan atmosfer yang pertama).
3)      Atmosfer juga berfungsi sebagai atap pelindung dari benda-benda asing seperti batu meteor yang jatuh ke bumi. Benda asing yang menuju bumi akan terbakar karena gaya gesek berkecepatan tinggi dengan atmosfer. Selain itu, atomosfer juga melindungi dari sinar UV yang berbahaya bagi manusia. Itulah fungsi atmosfer sebagai atap, persis seperti yang tertuang dalam ayat yang mengatakan bahwa langit sebagai atap.
4)      Atmosfer juga berfungsi sebagi dzat yang mengembalikan (At Thariq 11). Ionosfer adalah lapisan atmosfer yang berfungsi untuk memantulkan gelombang radio. Gelombang pemancar radio dari bumi naik ke atas, dan oleh Ionosfer dikembalikan lagi ke bumi. Itulah mengapa kita dapat mendengarkan siaran radio dari belahan bumi lain seperti BBC London, Bens Radio, Elshinta dsb. Hujan, juga pada dasarnya merupakan proses pengembalian air ke bumi. Uap air dari bumi naik ke atmosfer, lalu dikembalikan lagi ke bumi. Jelasnya, atmosfer berfungsi sebagai lapisan yang “mengembalikan” sebagaimana dalam ayat “Demi langit, dzat yang mengembalikan”.

2.        Langit Kubro

Selain pemahaman tentang langit yang diartikan sebagai atmosfer bumi, langit adalah alam semesta yang lebih luas dari sekedar atmosfer. Hal ini tertuang dalam ayat:
“Dan Kami hiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang” (QS Al Mulk: 5)
“Demi langit yang mengandung bintang-bintang” (QS Al Buruj: 1)

Bintang terletak di luar atmosfer bumi. Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, dan jauh lebih besar dari bumi. Bintang-bintang di alam semesta membentuk kelompok bintang yang disebut dengan Galaksi. Galaksi kita bernama Bima Sakti yang memuat sekitar 100 milyard bintang-bintang. Bentuknya seperti cakram dengan diameter 80.000 tahun perjalanan cahaya. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik. Jadi, 80.000 tahun cahaya = 80.000 x 365 x 24 x 60 x 60 x 300.000 km… subhanallah….

Lebih mengagumkan lagi, ternyata galaksi juga jumlahnya luar biasa banyak. Sekitar 100 milliar galaksi akan membentuk cluster galaksi. Bayangkan, betapa besarnya cluster galaksi ini! Anda bisa hitung berapa banyak bintang-bintang yang ada di sebuah cluster galaksi? Subhanallah… Inilah bukti kebesaran Allah.

Cluster galaksi pun banyak jumlahnya. Nah, bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya itulah yang menempati langit (QS Al Buruj: 1). Subhanallah, betapa luasnya langit…

Tentang Tujuh Langit

Sang Maha Pencipta secara tegas menginformasikan bahwa langit berjumlah tujuh. Untuk pemahaman langit versi pertama (Langit sughro), yang mendefinisikan langit adalah atmosfer, maka jelas bahwa yang dimaksud tujuh langit adalah lapisan-lapisan atmosfer yang berjumlah tujuh buah itu. Bagaimana dengan tujuh langit kubro? Inilah yang masih menjadi misteri besar bagi manusia. Ada beberapa pemahaman tentang ini. Ada yang memahami bahwa langit kubro ini juga secara fisik berlapis-lapis, sebagaimana langit sughro. Ada juga yang memahaminya bukan sebagai lapisan fisik, tapi lapisan dimensi sebagaimana terdapat dalam buku Terpesona di Sidratil Muntaha, karya Agus Mustofa.

Jika langit kubro pertama yang kita tempati berdimensi 3, maka langit ke-2, 3, 4, 5, 6, 7 adalah alam berdimensi 4, 5, 6, 7. Pemahaman versi ini mengatakan bahwa manusia hidup di langit dimensi 3, jin hidup di alam langit dimensi 4, arwah orang awam hidup di alam langit dimensi 5, arwah para nabi, aulia, dan syuhada, hidup di alam langit dimensi yang lebih tinggi tergantung kedudukannya. Waktu peristiwa isra mi’raj, Nabi Muhammad bertemu dengan beberapa nabi di berbagai lapisan langit. Nabi Muhammad bertemu Nabi Ibrahim di langit ke tujuh, bertemu Nabi Musa di langit ke enam. Juga bertemu dengan Nabi Adam, Nabi Yusuf di lapisan langit-langit lainnya. (Agus Mustafa, Terpesona di Sidratil Muntaha).

Penghuni langit berdimensi lebih rendah tidak dapat melihat penghuni langit berdimensi lebih tinggi. Tapi penghuni langit berdimensi lebih tinggi dapat melihat penghuni langit yang berdimensi lebih rendah. Itulah sebabnya Manusia (umumnya) tidak dapat melihat jin tapi jin dapat melihat manusia. Kita tidak bisa mendengar rintihan arwah yang sedang disiksa, tapi arwah dapat mendengar bunyi alas kaki para pengantar jenazahnya.

Yang dimaksud 7 lapisan langit di sini bukan berarti langit tersebut menumpuk secara berlapis-lapis seperti kue lapis, tapi ketujuh lapisan tersebut semakin meningkat kedudukannya sesuai dengan bertambah tingkat dimensinya.
Pertambahan tingkat dimensi ketujuh lapisan langit tersebut hanya bisa digambarkan dengan memproyeksikannya ke langit pertama (dimensi ruang yang dihuni oleh kita) yang berdimensi tiga. Karena hanya ruang berdimensi tiga inilah yang bisa difahami oleh kita. Secara analog, kita bisa membuat perumpamaan sebagai berikut :
  
Penjelasan gambar:
Pada gambar 1 tampak bahwa sebuah garis berdimensi 1 tersusun dari titik-titik dalam jumlah tak terbatas. Kemudian garis-garis tersebut disusun dalam jumlah tak terbatas hingga menjadi sebuah luasan berdimensi 2 (Gambar 2). Dan jika luasan-luasan serupa ini ditumpuk ke atas dalam jumlah yang tak terbatas, maka akan terbentuk sebuah balok (ruang berdimensi 3).
Kesimpulannya adalah sebuah ruang berdimensi tertentu tersusun oleh ruang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas. Atau dengan kata lain ruang yang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas akan menyusun menjadi ruang berdimensi yang lebih tinggi. Misalnya, ruang 3 dimensi – dimensi ruang yang sekarang dihuni oleh kita ini – dengan jumlah tak terbatas menyusun menjadi satu ruang berdimensi empat.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Langit pertama

Ruang berdimensi 3 yang dihuni oleh makhluk berdimensi 3, yakni manusia, binatang, tumbuhan dan lain-lain yang tinggal di bumi beserta benda-benda angkasa lainnya dalam jumlah yang tak terbatas. Namun hanya satu lapisan ruang berdimensi 3 yang diketahui berpenghuni, dan bersama-sama dengan ruang berdimensi 3 lainnya, alam semesta kita ini menjadi penyusun langir kedua yang berdimensi 4.

Langit kedua

Ruang berdimensi 4 yang dihuni oleh bangsa jin beserta makhluk berdimensi 4 lainnya. Ruang berdimensi 4 ini bersama-sama dengan ruang berdimensi 4 lainnya membentuk langit yang lebih tinggi, yaitu langit ketiga.

Langit ketiga

Ruang berdimensi 5 yang di dalamnya “hidup” arwah dari orang-orang yang sudah meninggal. Mereka juga menempati langit keempat sampai dengan langit keenam. Langit ketiga ini bersama-sama dengan langit ketiga lainnya menyusun langit keempat dan seterusnya hingga langit ketujuh yang berdimensi 9.

Bisa dibayangkan betapa besarnya langit ketujuh itu. Karena ia adalah jumlah kelipatan tak terbatas dari langit dunia (langit pertama) yang dihuni oleh manusia. Berarti langit dunia kita ini berada dalam struktur langit yang enam lainnya, termasuk langit yang ketujuh ini. Jika alam akhirat, surga dan neraka terdapat di langit ke tujuh, maka bisa dikatakan surga dan neraka itu begitu dekat dengan dunia kita tapi berbeda dimensi.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa langit dunia kita ini merupakan bagian dari struktur langit ketujuh. Berarti alam dunia ini merupakan bagian terkecil dari alam akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan hadist Nabi:
“Perbandingan antara alam dunia dan akhirat adalah seperti air samudera, celupkanlah jarimu ke samudera, maka setetes air yang ada di jarimu itu adalah dunia, sedangkan air samudera yang sangat luas adalah akhirat”.

Perumpamaan setetes air samudera di ujung jari tersebut menggambarkan dua hal:
1.        Ukuran alam dunia dibandingkan alam akhirat adalah seumpama setetes air di ujung jari dengan keseluruhan air dalam sebuah samudera. Hal ini adalah penggambaran yang luar biasa betapa luasnya alam akhirat itu.
2.        Keberadaan alam dunia terhadap alam akhirat yang diibaratkan setetes air berada dalam samudera. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa alam dunia merupakan bagian dari alam akhirat, hanya ukurannya yang tak terbatas kecilnya. Begitu juga dengan kualitas dan ukuran segala hal, baik itu kebahagiaan, kesengsaraan, rasa sakit, jarak, panas api, dan lain sebagainya, di mana ukuran yang dirasakan di alam dunia hanyalah sedikit sekali.

Berbagai ruang dimensi dan interaksi antar makhluk penghuninya

1.        Langit pertama atau langit dunia

Seperti disebutkan pada ayat 11-12 Surat Fushshilat, maka yang disebut langit yang dekat tersebut adalah langit dunia kita ini atau disebut juga alam semesta kita ini. Digambarkan bahwa langit yang dekat itu dihiasi dengan bintang-bintang yang cemerlang, dan memang itulah isi yang utama dari alam semesta. Bintang-bintang membentuk galaksi dan kluster hingga superkluster. Planet-planet sesungguhnya hanyalah pecahan dari bintang-bintang itu. Seperti tata surya kita, matahari adalah sebuah bintang dan sembilan planet yang mengikatinya adalah pecahannya, atau pecahan bintang terdekat lainnya. Sedangkan tokoh utama di langit pertama ini adalah kita manusia yang mendiami bumi, planet anggota tata surya. Langit pertama ini tidak terbatas namun berhingga. Artinya batasan luasnya tidak diketahui tapi sudah bisa dipastikan ada ujungnya. Diperkirakan diameter alam semesta mencapai 30 miliar tahun cahaya. Artinya jika cahaya dengan kecepatannya 300 ribu km/detik melintas dari ujung yang satu ke ujung lainnya, maka dibutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuhnya.


Penjelasan gambar:
Apabila digambarkan bentuknya kira-kira seperti sebuah bola dengan bintik-bintik di permukaannya. Di mana bintik-bintik tersebut adalah bumi dan benda-benda angkasa lainnya. Apabila kita berjalan mengelilingi permukaan bola berkeliling, akhirnya kita akan kembali ke titik yang sama. Permukaan bola tersebut adalah dua dimensi. Sedangkan alam semesta yang sesungguhnya adalah ruang tiga dimensi yang melengkung seperti permukaan balon itu. Jadi penggambarannya sangat sulit sekali sehingga diperumpamakan dengan sisi bola yang dua dimensi agar memudahkan penjelasannya.

2.        Langit kedua

Seperti diterangkan sebelumnya bahwa setiap lapisan langit tersusun secara dimensional. Diasumsikan bahwa pertambahan dimensi setiap lapisan adalah 1 dimensi. Jadi apabila langit pertama atau langit dunia kita ini berdimensi 3, maka langit kedua berdimensi 4. Langit kedua ini dihuni oleh makhluk berdimensi 4, yakni bangsa jin.

Penjelasan gambar:
Apabila digambarkan posisi langit kedua terhadap langit pertama adalah seperti gambaran balon pertama tadi. Di mana bagian permukaan bola berdimensi 2 adalah alam dunia kita yang berdimensi 3, sedangkan ruangan di dalam balon yang berdimensi 3 adalah langit kedua berdimensi 4. Jadi apabila kita melintasi alam dunia harus mengikuti lengkungan bola, akibatnya perjalanan dari satu titik ke titik lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Sedangkan bagi bangsa jin yang berdimensi 4 mereka bisa dengan mudah mengambil jalan pintas memotong di tengah bola, sehingga jarak tempuh menjadi lebih dekat. Deskripsi lain adalah seperti gambar berikut:

Bayangkanlah permukaan tembok dan sebuah ruangan yang dikelilingi oleh dinding-dindingnya. Umpamakan ada dua jenis makhluk yang tinggal di sana. Makhluk pertama adalah makhluk bayang-bayang yang hidup di permukaan tembok berdimensi 2. Sedangkan makhluk kedua adalah makhluk balok berdimensi 3. Ingatlah analogi alam berdimensi 3 dengan makhluk manusianya adalah permukaan tembok dan makhluk bayang-bayangnya, sedangkan alam berdimensi 4 dan makhluk jinnya adalah ruangan berdimensi 3 dengan baloknya.
Tampak dengan mudah dilihat bahwa kedua alam berdampingan dan kedua makhluk hidup di alam yang berbeda. Kedua makhluk juga mempunyai dimensi yang berbeda, bayang-bayang berdimensi 2 sedangkan balok berdimensi 3. Makhluk berdimensi 2, yaitu bayang-bayang tidak bisa memasuki ruangan berdimensi 3, dia tetap berada di tembok, sedangkan makhluk berdimensi 3 yakni balok dapat memasuki alam berdimensi 2, yakni tembok. Bagaimanakah caranya balok bisa memasuki dinding yang berdimensi 2?
Balok yang berdimensi 3 memiliki permukaan berdimensi 2 yakni bagian sisi-sisinya. Apabila si balok ingin memasuki alam berdimensi dua, dia cukup menempelkan bagian sisinya yang berdimensi 2 ke permukaan tembok. Bagian sisi balok sudah memasuki alam berdimensi 2 permukaan tembok. Bagian sisi balok ini dapat dilihat oleh makhluk bayang-bayang di tembok sebagai makhluk berdimensi 2 juga. Analoginya adalah jin yang dilihat oleh kita penampakannya di alam dunia sebenarnya berdimensi 4 tetapi oleh indera kita dilihat sebagai makhluk berdimensi 3 seperti tampaknya sosok kita manusia.

3.        Langit ketiga sampai dengan langit ketujuh

Langit ketiga sampai dengan keenam dihuni oleh arwah-arwah, sedangkan langit ke tujuh adalah alam akhirat dengan surga dan nerakanya. Analoginya sama dengan langit kedua di atas, karena pengetahuan kita hanya sampai kepada alam berdimensi 3

 Informasi di dalam al Quran Tentang Tujuh Langit

Al Quran menuturkan kepada kita tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam ayat-ayat berikut:

1.        Qs. Al Baqarah: 29. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
2.        Qs. Al Israa: 44. “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”.
3.        Qs. Fushshilat: 12. “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.
4.        Qs. Al Mulk: 3. “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
5.        Qs. Ath Thalaaq:12. “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

Ayat-ayat tersebut di atas bericara tentang bilangan langit, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al Quran dan kamus-kamus bahasa Arab. Selain itu, ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh lapisan.

Informasi dalam Sunnah Tentang Tujuh Langit

Seandainya kita meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, maka kita menemukan sebuah hadits yang menegaskan keberadaan tujuh lapis bumi, maksudnya tujuh lapis yang sebagiannya membungkus sebagian yang lain. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang menyerobot sejengkal tanah, maka Allah akan menimbunnya dengan tujuh lapis bumi”. (HR Bukhari). Kata menimbun dalam hadits tersebut diungkapkan dengan kata thawwaqa yang secara bahasa berarti meliputinya dari semua sisi.
Pertanyaannya adalah: Bukankah hal ini merupakan mukjizat Nabi yang besar? Bukankah hadits yang mulia ini telah menentukan bilangan lapisan bumi, yaitu tujuh, dan menentukan bentuk lapisan itu, yaitu meliputi dan menyelubungi. Bahkan hadits ini memuat sinyal tentang bentuk bulat atau semi-bulat. Al Quran dan Sunnah telah mendahului ilmu pengetahuan modern dalam mengungkapkan fakta ilmiah ini. Selain itu, al Quran juga telah memberi kita penjelasan yang tepat mengenai struktur bumi dengan menggunakan kata thibaqan. Meski Rasulullah Muhammad SAW memiliki banyak mukjizat fisik seperti menyembuhkan orang lumpuh, membelah bulan, berbicara dengan binatang seperti Nabi Sulaiman, para sahabat berjalan di atas laut, memberi makan ribuan orang dengan sedikit makanan, dan masih sekitar 300 mukjizat lainnya, tapi tetaplah Qur’an ialah Mukjizat terbesar sepanjang masa.
Itulah mengapa al Quran disebut mukjizat terbesar sepanjang masa kerana banyak ayat Quran yang dapat dibuktikan oleh peralatan modern abad terahir. Mulai dari Astronomi, Geology, Biology, Math, chemistry, Oceanography dan segala bidang. Sebuah Mukjizat terbesar berupa kitab yang diturunkan melalui seorang Al Amin (tak pernah berbohong) yang tak dapat membaca di zaman kuno kepada ummat terakhir yang pintar dan selalu membaca buku di zaman modern dan baru dapat dibuktikan oleh peralatan akhir zaman. Siapa lagi yg mewahyukan jika bukan Pencipta Alam Semesta (Allah)?.
  
Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Klasik

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” yakni sebagian diantaranya berada di atas sebagian yang lain tanpa bersentuhan. Dalam pengertian ini, Allah telah menciptakan langit dengan berlapis-lapis yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena dalam perkembangan dan pengetahuan yang telah terkumpulkan bahwa langit yang ketujuh itu terletak di super galaksi yang banyak sekali gumpalan-gumpalan meteor dan banyak galaksi yang terkumpul di dalamnya.

Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Bir Ra’yi

Dalam al Quran juga telah dipaparkan dengan secara rinci, yaitu dalam surat Mulk: 3-4.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat pada ciptaan ar-Rahman sedikitpun ketidak seimbangan. Maka ulangilah pandangan itu adakah engkau melihat sedikitpun keretakan? Kemudian ulangilah pandangan itu dua kali niscaya akan kembali kepadamu pandangan itu kecewa, dan ia menjadi lelah.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang telah menciptakan tujuh langit berlapis lapis serasi dan sangat harmonis. Engkau siapa pun engkau kini dan masa datang tidak melihat pada ciptaan Allah yang kecil maupun yang besar ketidaksinambungan.

Sab’a samawat/tujuh langit dipahami oleh para ulama dalam arti planet-planet yang mengitari tata surya selain bumi karena itulah dapat terjangkau oleh pandangan mata serta pengetahuan manusia, paling tidak saat turunnya al Quran. Hemat penulis QS. Al Mulk:3-4 dapat dipahami juga lebih umum, karena angka tujuh bisa merupakan angka yang menggantikan kata banyak.

Dalam al Quran, diungkapkan juga dalam surat Hud: 7.

“Sesungguhnya Allah telah menentukan keterangan-keterangan dari seluruh makhluk, seluruhnya Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu. Dan ‘Arsy-Nya adalah di atas air”.
Ayat ini telah memberikan isyarat, bahwasannya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk telah diatur terlebih dahulu sampai kepada hal yang kecil, 50.000 tahun sebelum tujuh langit dan bumi dijadikan. Maka bertambah dapat dipahami bahwa menciptakan tujuh langit di serambi bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan sehari itu, hanya Allah yang Maha mengetahuinya. Itu juga dijelaskan dalam ayat ini, bahwasannya di bawah naungan langit yang tinggi, di atas dihamparan bumi yang luas manusia hidup untuk diuji, siapakah yang lebih baik amalnya.

Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Kontemporer

Menarik menyimak argumentasi para peminat astronomi tentang makna sab’a samaawaat (tujuh langit). Namun ada kesan pemaksaan fenomena astronomis untuk dicocokkan dengan eksistensi lapisan-lapisan langit. Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang penafsiran lapisan-lapisan langit itu berdasarkan konsep geosentris. Bulan pada langit pertama, kemudian disusul Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus pada langit kedua sampai ketujuh. Konsep geosentris tersebut yang dipadukan dengan astrologi (suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi pada masa itu) sejak sebelum zaman Islam telah dikenal dan melahirkan konsep tujuh hari dalam sepekan.

Benda-benda langit itu dianggap mempengaruhi kehidupan manusia dari jam ke jam secara bergantian dari yang terjauh ke yang terdekat. Bukanlah suatu kebetulan 1 Januari tahun 1 ditetapkan sebagai hari Sabtu (Saturday — hari Saturnus — atau Doyobi dalam bahasa Jepang yang secara jelas menyebut nama hari dengan nama benda langitnya). Pada jam 00.00 itu Saturnus yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Bila diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya jatuh pada matahari. Jadilah hari berikutnya sebagai hari matahari (Sunday, Nichyobi). Dan seterusnya. Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan (Monday, getsuyobi, Senin), hari Mars (Kayobi, Selasa), hari Merkurius (Suiyobi, Rabu), hari Jupiter (Mokuyobi, Kamis), dan hari Venus (Kinyobi, Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.

Pemahaman tentang tujuh langit sebagai tujuh lapis langit dalam konsep keislaman bukan sekadar pengaruh konsep geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi’raj Rasulullah SAW. Mi’raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah berarti tumbuhan sidrah yang tak terlampaui, suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam al Quran dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha.

Secara sekilas kisah mi’raj di dalam hadits shahih disebutkan sebagai berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit kedua sampai ketujuh. Di langit kedua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya, di langit ketiga ada Nabi Yusuf, di langit keempat ada Nabi Idris, di langit ke lima ada Nabi Harun, di langit keenam ada Nabi Musa, dan di langit ketujuh ada Nabi Ibrahim.

Di langit ketujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi. Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (pena). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia yaitu sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir. Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam al Quran surat An Najm ayat 13-15. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.

Langit (samaa’ atau samawat) di dalam al Quran berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi. Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada surat al Mulk 3 dan surat Nuh ayat 15. sab’a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan “tujuh langit berlapis-lapis” atau “tujuh langit bertingkat-tingkat”. Walaupun demikian, itu tidak bermakna tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas yang lain.

“Bertingkat-tingkat” berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak seperti titik-titik pada gambar di kertas.

Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam al Quran ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam matematika dikenal istilah “tak terhingga” dalam suatu pendekatan limit, yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan “tujuh” dalam beberapa ayat al Quran.

Misalnya, di dalam QS. Luqman: 27 diungkapkan, “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah.” Tujuh lautan bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya. Sama halnya dalam QS. At Taubah: 80: “…Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun….” Jelas, ungkapan “tujuh puluh” bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali. Jadi, ‘tujuh langit’ semestinya dipahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Kemudian apa makna langit pertama, kedua, sampai ketujuh dalam kisah mi’raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra’ mi’raj adalah langit ghaib. Dalam kisah mi’raj itu peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, menurut penulis bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha.

Dalam bahasa al Quran, kata sab’a (tujuh) tidak selalu berarti sebuah bilangan bulat antara 6 dan 8. Kata sab’a terkadang menunjukkan jumlah yang banyak sekali. Misalnya “tujuh lautan” surat Luqman ayat 27, menunjukkan jumlah yang banyak artinya: andai sebanyak apa pun lautan dijadian tinta, ia tak akan sanggup menuliskan semua ilmu Allah. Fakta menarik: kata “tujuh langit” muncul tujuh kali dalam dua redaksi: sab’a samawat:
1.        QS. Al Baqarah ayat 29.
2.        QS. Al Isra ayat 44.
3.        QS. Al Mu’minun ayat 86.
4.        QS. Fushshilat ayat 12.
5.        QS. Ath Thalaaq ayat 12.
6.        QS. Al Mulk ayat 3.
7.        QS. Nuh ayat 15.

Bagaimanapun, Tentang 7 Langit Adalah Misteri. Hanya Sang Khalik Yang Tahu Pasti. WALLAHU A’LAM BISH SHOWAB.

Referensi:
Hamka, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional, 1993.
Tafsir Jalalain jilid 2.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Al ‘Alim: Al Quran Edisi Ilmu Pengetahuan Munasabah, hlm. 562
Tujuh langit tidak berarti tujuh lapis. http://media.isnet.org/isnet/Djamal/langitdl.html
http://serpihanfb.mywapblog.com/menyingkap-misteri-7-lapisan-langit-dan.xhtml